Monday, 5 November 2018

Assalamualaikum Wr Wb

Hai....Hai....Hai.....
Jumpa lagi dengan kami, kali ini kami akan Membagikan 10 TIPS BELAJAR EFEKTIF khusus untuk siswa-siswi yang ingin mendapatkan nilai yang memuaskan.
Simak ya.....

10 TIPS BELAJAR EFEKTIF

Buat kalian yang susah banget buat belajar, coba deh pahami sepuluh hal berikut ini. Supaya kita lebih termotivasi dan melakukan aktifitas belajar sebagai sesuatu yang bermakna dan menyenangkan. Karena tumbuhnya motivasi internal dalam diri kita untuk belajar itu merupakan modal utama bagi kita. Namun yang terpenting mesti kita perhatikan adalah kesadaran kita akan kebutuhan belajar. Selamat membaca!

Ø Membaca adalah kunci belajar
Supaya kita bisa paham, minimal bacalah materi baru dua kali dalam sehari, yakni sebelum dan sesudah materi itu diterangkan oleh guru. Karena otak sudah mengolah materi tersebut sebanyak tiga kali jadi bisa dijamin bakal tersimpan cukup lama di otak kita.


Ø Pilih waktu belajar yang tepat
Waktu belajar yang paling enak adalah pada saaat badan kita masih segar. Memang tidak semua orang punya waktu belajar enak yang sama lo. Tapi biasanya, pagi hari adalah waktu yang tepat untuk berkonsentrasi penuh. Gunakan saat ini untuk mengolah materi-materi baru. Sisa-sisa energi bisa digunakan untuk mengulang pelajaran dan mengerjakan pekerjaan rumah.


Ø Bangun suasana belajar yang nyaman
Banyak hal yang bisa buat suasana belajar menjadi nyaman. Kita bisa pilih lagu yang sesuai dengan mood kita. Tempat belajar juga bisa kita sesuaikan. Kalau sedang bosan di kamar bisa di teras atau di perpustakaan. Kuncinya jangan sampai aktivitas belajar kita mengganggu dan terganggu oleh pihak lain.

Ø Bentuk Kelompok Belajar
Kalau lagi bosan belajar sendiri, bisa belajar bareng dengan teman. Tidak usah banyak-banyak karena tidak bakal efektif, maksimal lima orang. Buat pembagian materi untuk dipelajari masing-masing orang. Kemudian setiap orang secara bergilir menerangkan materi yang dikuasainya itu ke seluruh anggota lainnya. Suasana belajar seperti ini biasanya seru dan kita dijamin bakalan susah untuk mengantuk.

Ø Belajar itu memahami bukan sekedar menghapal
Yap, fungsi utama kenapa kita harus belajar adalah memahami hal-hal baru. Kita boleh hapal 100% semua detail pelajaran, tapi yang lebih penting adalah apakah kita sudah mengerti betul dengan semua materi yang dihapal itu. Jadi sebelum menghapal, selalu usahakan untuk memahami dulu garis besar materi pelajaran.

Ø Mencatat pokok-pokok pelajaran
Tinggalkan catatan pelajaran yang panjang. Ambil intisari atau kesimpulan dari setiap pelajaran yang sudah dibaca ulang. Kata-kata kunci inilah yang nanti berguna waktu kita mengulang pelajaran selama ujian.

Ø Hapalkan kata-kata kunci
Kadang, mau tidak mau kita harus menghapal materi pelajaran yang lumayan banyak. Sebenarnya ini bisa disiasati. Buatlah kata-kata kunci dari setiap hapalan, supaya mudah diingat pada saat otak kita memanggilnya. Misal, kata kunci untuk nama-nama warna pelangi adalah MEJIKUHIBINIU, artinya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu.

Ø Latih sendiri kemampuan kita
Sebenarnya kita bisa melatih sendiri kemampuan otak kita. Pada setiap akhir bab pelajaran, biasanya selalu diberikan soal-soal latihan. Tanpa perlu menunggu instruksi dari guru, coba jawab semua pertanyaan tersebut dan periksa sejauh mana kemampuan kita. Kalau materi jawaban tidak ada di buku, cobalah tanya ke guru.

Ø Kembangkan materi yang sudah dipelajari
Kalau kita sudah mengulang materi dan menjawab semua soal latihan, jangan langsung tutup buku. Cobalah kita berpikir kritis ala ilmuwan. Buatlah beberapa pertanyaan yang belum disertakan dalam soal latihan. Minta tolong guru untuk menjawabnya. Kalau belum puas, cari jawabannya pada buku referensi lain atau internet. Cara ini mengajak kita untuk selalu berpikir ke depan dan kritis.

Ø Sediakan waktu untuk istirahat
Belajar boleh kencang, tapi jangan lupa untuk istirahat. Kalau di kelas, setiap jeda pelajaran gunakan untuk melemaskan badan dan pikiran. Setiap 30-45 menit waktu belajar kita di rumah selalu selingi dengan istirahat. Kalau pikiran sudah suntuk, percuma saja memaksakan diri. Setelah istirahat, badan menjadi segar dan otak pun siap menerima materi baru.

Selamat Mencoba.

Wednesday, 18 July 2018

"Pendidikan, Membangun Metode Berpikir"

Copas dari Bapak HASANUDIN ABDURAKHMAN (Beliau adalah seorang Dokter Fisika Terapan)

Anak saya yang baru masuk kelas 1 SMA mengeluh soal pelajaran dan guru di sekolahnya. “Guru tidak menjelaskan, cuma menyuruh kami belajar sendiri, lalu dia memberi kami soal-soal untuk diselesaikan,” keluhnya. Apa yang terjadi dengan sekolah? Konon, ini pola belajar berdasarkan kurikulum 2013.

Entahlah, apa benar demikian atau tidak. Saya tidak melakukan kajian sistematis soal kurikulum. Namun selama mendampingi anak-anak saya belajar, saya perhatikan ada beberapa masalah pada buku-buku pelajaran mereka. Masalahnya adalah, sering adanya lompatan dalam materi pelajaran.

Prinsip belajar adalah bertahap. Setelah paham sesuatu, pelajar dibawa ke tahap selanjutnya. Tanpa memahami sesuatu yang merupakan pendahuluan, sulit untuk memahami materi di tahap berikutnya. Untuk memahami perkalian, misalnya, pelajar harus paham dulu soal penjumlahan. Tanpa pemahaman itu, mustahil dia paham soal perkalian.

Keluhan anak saya, dia belajar soal vektor dalam pelajaran fisika. Tapi gurunya tidak memberi penjelasan soal definisi sinus dan cosinus yang dipakai untuk menjelaskan vektor. Kata gurunya, itu materi yang harus didapat dalam pelajaran matematika. Sementara pelajaran matematika belum sampai ke materi itu.

Guru adalah raja di kelasnya. Ia bukan hamba kurikulum. Maka ia tak boleh gagal menjelaskan hanya karena dibatasi oleh kurikulum. Kurikulum itu bukan kitab suci yang harus diikuti kata per kata. Ia hanya panduan besar. Guru boleh keluar dari situ, untuk membangun pemahaman bagi pelajarnya.

Masalahnya, banyak guru yang tidak paham. Banyak yang tidak paham materi yang harus ia ajarkan. Atau, tak paham bagaimana menjelaskannya. Ada banyak guru yang bertahun-tahun bertahan dalam ketidakpahaman. Ia tak berusaha membangun pemahaman bagi dirinya sendiri. Itulah salah satu sebab gagalnya pendidikan kita.

Pendidikan pada dasarnya bukan sekadar soal mengajarkan pengetahuan. Dalam hal fisika, misalnya, bukan soal bagaimana agar para pelajar paham hukum-hukum fisika. Para pelaku pendidikan sering gagal memahami itu. Fokus mereka pada materi pelajaran. Bagaimana menyampaikan materi pelajaran. Bagaimana membuat anak-anak mampu menyelesaikan soal tes.

Jadi, kalau tidak paham, hafalkan saja. Termasuk hafalkan saja cara menyelesaikan soal. Kalau soalnya begini, cara menyelesaikannya begini. Ganti rumus ini dengan angka ini, nanti hasilnya ini.

Situasi itu jauh dari maksud pendidikan. Kita tak mengajari anak-anak kita tentang fisika dengan harapan agar mereka semua jadi ahli fisika. Demikian pula dengan matematika, dan pelajaran lain. Bagian terpenting dari semua pelajaran itu adalah membangun metode berpikir, dengan menjalani prosesnya.

Dalam setiap pelajaran ilmu alam sebenarnya diperkenalkan topik tentang metode ilmiah. Tentang bagaimana pengetahuan tentang sesuatu diperoleh, bagaimana sesuatu diselidiki lalu disimpulkan. Sayangnya, bagian ini pun sering kali hanya menjadi bagian hafalan dalam pelajaran. Ia tidak menjadi fondasi dalam proses belajar selanjutnya.

Tahapan dalam materi pelajaran pada dasarnya disusun untuk membangun metode berpikir. Sepanjang masa belajar para pelajar digembleng untuk menjalani proses berpikir, dilatih untuk berpikir, membangun metode berpikir. Karena itu materi pelajaran tidak sekadar soal isi teori, tapi juga membahas bagaimana teori itu dibangun. Pada teori atom, misalnya, tidak langsung meloncat pada isi teorinya, tapi juga membahas bagaimana sejarah perumusan teori itu.

Sebagian besar anak-anak kita kelak tidak akan bekerja dengan memakai teori atom atau Hukum Newton. Kalau materi pelajaran yang menjadi prioritas, yakinlah bahwa itu akan sia-sia, karena akhirnya tidak akan dipakai dalam hidup. Tapi kalau proses berpikir yang dilatihkan, maka proses itu akan menjadi pola yang melekat sampai kapan pun. Itu akan berguna dalam banyak kesempatan sepanjang hidup.

Para orang tua dan guru harus selalu menyegarkan kembali kesadaran mereka soal ini. Agar mereka tidak tenggelam dalam kesesatan, mengejar target materi, lupa membangun proses berpikir. Ketika harus menjelaskan sesuatu yang pendahuluannya belum dipahami anak-anak, mutlak bagi guru untuk membangun pemahaman soal pendahuluan itu. Kalau tidak, ia tidak sedang membangun metode berpikir.


Semoga Pendidikan di Negara kita semakin maju... Amin.

Thursday, 29 March 2018

Permainan Anak Jaman Now, Apa Kata Ki Hajar Dewantara?

Ilustrasi anak-anakCopas dari OM Bondhan Kresna W. (Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011)

Baru-baru ini semakin banyak anak mengenal permainan baik online maupun offline melalui gadget yang semakin hari semakin terjangkau. Anak saya sejak usia 3 tahun sudah pandai mengutak-atik handphone android. Bahkan kadang-kadang anak lebih ahli memainkan gadget dibandingkan orangtuanya.


Sebagian kalangan mengatakan gadget memberikan pengaruh yang buruk dan harus dihindarkan karena mengakibatkan kecanduan. Hal ini dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh psikiater dari University of California, Los Angeles (UCLA) Peter C. Whybrow yang menyebut online games sebagai “Digital Heroin”.


Bahkan menurut Eileen Kennedy, psikolog dari Princeton University, American Psychological Association (APA), telah menyatakan bahwa “Ada korelasi yang konsisten antara kekerasan dalam video games dengan perilaku agresif, pikiran agresif, hilangnya empati dan penurunan perilaku prososial pada anak”.

Sementara peneliti yang lain mengatakan permainan (game) bisa menstimulasi kemampuan kognitif anak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan (problem solving) seperti yang dipaparkan Dr. Patrick Markey, psikolog dari Villanova University, Pennysilvania dalam bukunya “Moral combat: Why the war on violent video games is wrong”.


Lalu mana yang benar? Bisa jadi dua-duanya benar. Akses anak kepada video games maupun online games cenderung lebih banyak ketika orangtua tidak melakukan kontrol.


Saya termasuk yang percaya bahwa permainan online anak jaman now ada manfaatnya, tapi lebih banyak mudharatnya sehingga harus dibatasi, karena tidak bisa dihilangkan.


Namun demikian sebenarnya permainan hanyalah sarana, lebih penting yang harus kita perhatikan adalah apa yang terjadi dalam alam-keluarga yaitu interaksi anak-orangtua ketika anak sedang bermain –apapun permainannya.

Demikian Ki Hajar Dewantara menyebutnya dalam sistem trisentra. Ada 3 hal maha-penting dalam lingkungan pendidikan anak yaitu alam-keluarga (interaksi anak-orangtua), alam-perguruan (interaksi anak-guru), dan alam-pergaulan (interaksi anak-teman sebaya) yang memiliki pengaruh sangat kuat dalam perkembangan karakter anak.


Dalam hal ini mungkin bisa kita lengkapi dengan faktor genetik (nature), yang meskipun menurut saya pengaruhnya mungkin tidak akan sebesar ketiga alam trisentra (nurture).


Penelitian-penelitian terkini, ternyata terbukti faktor genetik memiliki pengaruh dalam perkembangan anak. Tentu 80 tahun yang lalu ketika Ki Hajar menuliskan mengenai sistem trisentra, belum ada yang membuktikan demikian.

Parenting is an art, not an equation kata seorang teman dan saya setuju. Mengasuh dan mendidik anak itu seni, bukan ilmu eksakta.

Setiap anak punya keunikan. Selalu ada kemungkinan suatu pola pengasuhan atau pendidikan cocok bagi banyak anak tapi kurang cocok bagi anak kita, dan sebaliknya. Yang bisa kita lakukan adalah mengenali pola umum perkembangan anak, tugas-tugas perkembangannya untuk mengenali keunikan anak dan memberikan stimulasi bagi anak untuk bertumbuh secara optimal sekaligus mengurangi risiko-risiko negatif yang menurut saya tidak terhindarkan.

Intensitas interaksi anak-orangtua umumnya paling banyak terjadi ketika anak usia 0 hingga 7 tahun tepat ketika anak akan masuk sekolah dasar.

Meski belakangan intensitasnya mulai menyempit karena banyak juga anak di bawah 1 tahun sudah dititipkan di Tempat Penitipan Anak (TPA) yang harga bulanannya mencapai jutaan rupiah.

Kata seorang teman yang lain, yang terpenting adalah kualitas hubungan dengan anak, bukan kuantitas.

Saya kurang setuju karena kualitas hubungan dengan anak tidak bisa dipisahkan dari kuantitas interaksinya. Anak di bawah tujuh tahun menurut teori perkembangan kognifit masih memiliki pemikiran “operasional konkrit” yaitu berinteraksi dengan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya secara langsung.

Saya termasuk yang sudah merasakannya, selama setahun ketika hanya bertemu anak paling banter dua minggu sekali, saya mendapati anak saya tidak memiliki hubungan yang “berkualitas” dengan saya. Dalam arti anak jadi tidak terlalu tertarik bermain dengan saya.

Tapi bisa jadi saya salah, dengan kuantitas yang demikian (tidak bertemu anak setiap hari) tetap hubungan teman saya dengan anaknya bisa berkualitas. Wallahualam..

Pertanyaan mendasar yang harus muncul dalam pengasuhan (parenting) adalah. Apa tujuan orangtua mengijinkan anak bermain? Sebagian mungkin masih menganggap permainan itu suplemen bagi pendidikan anak, masih banyak orangtua bilang “Ayo jangan main terus, sekarang waktunya belajar!”

Menurut Ki Hajar pendidikan anak usia pra-sekolah dasar adalah latihan panca-indria. Latihan panca-indria akan lebih optimal apabila didapatkan melalui permainan. Jadi pendidikan anak adalah permainan itu sendiri!

Persis di sini interaksi anak-orangtua memberikan pengaruh yang sangat besar. Apakah kemudian kita harus mengijinkan anak bermain sepuasnya? Tentu saja tidak! Kalau demikian jadinya, tidak perlu ada orangtua. Orang tua-lah yang seharusnya memegang kendali bagaimana anak mengoptimalkan panca-indrianya melalui bermain. Orangtua lah yang harus punya pengetahuan permainan apa saja yang akan mempengaruhi perkembangan anak.

Aspek yang dikembangkan melalui permainan tertentu, memberikan rambu-rambu, dan mengeliminasi permainan-permainan yang tidak bermanfaat. Dalam sebuah buku kecil seorang ibu rumah tangga dengan dua anak balita berjudul “Saat Kamu Bertambah Besar” yang disampaikan terbatas dari mulut ke mulut dan melalui Instagram ig @rumahmentariku.

Penulisnya seperti memberikan wejangan pada anak bahwa “Nak, kamu bebas bermain, tapi kamu punya batas mana yang boleh, mana yang tidak boleh.”

Lagipula, kita sebagai bangsa Indonesia memiliki kekayaaan mainan tradisional yang sayangnya sudah banyak ditinggalkan. Padahal permainan-permainan itu yang mewarnai perkembangan tokoh-tokoh pendiri negeri kita.

Mari kita simak sedikit penuturan Ki Hajar Dewantara dalam nukilan artikelnya di majalah Wasita, Jilid 1 No.1 bulan Oktober 1928 :

“…Sedikit contoh bolehlah disebutkan disini. Permainan anak Jawa seperti : sumbar, gateng, unclang itu mendidik anak agar teliti, cekatan, dan menjernihkan penglihatan. Permainan dakon, cublak-cublak suweng, kubuk, itu mendidik anak tentang perhitungan dan pengiraan (pen-kognitif). Permainan gobag sodor, trembung, raton, cu, geritan, obrog, panahan, si, jamuran, jelungan itu bersifat sport, mendidik kuat sehatnya badan, kecekatan, dan keberanian (pen-motorik kasar). Permainan ngronce, menyulam janur, atau membuat tikar itu untuk pendidikan keteraturan dan tabiat tertib (pen-motorik halus). Nyatalah tidak usah kita mengadakan barang tiruan kalau memang kita sudah mempunyainya sendiri...”

Sumber :

“Pendidikan” Kumpulan tulisan Ki Hajar Dewantara
“Saat Kamu Bertambah Besar” buku kecil tulisan Rahmawati Putri

https://grandchallenges.ucla.edu/happenings/2016/08/27/its-digital-heroin-how-screens-turn-kids-into-psychotic-junkies/

https://www.nytimes.com/2017/04/01/opinion/sunday/video-games-arent-addictive.html